Home / Berita / Daerah / Tokoh Adat dan Agama Luruskan Sejarah Kesultanan Langkat: Narasi Media Dinilai Menyesatkan

Tokoh Adat dan Agama Luruskan Sejarah Kesultanan Langkat: Narasi Media Dinilai Menyesatkan

Langkat – Polemik seputar pemberitaan mengenai Kesultanan Langkat belakangan ini menuai sorotan tajam. Salah satu media online disebut membangun narasi yang dinilai menyudutkan sejarah Sultan Langkat dengan tuduhan yang dianggap menyesatkan. Hal tersebut memicu reaksi keras dari tokoh adat, tokoh agama, hingga kalangan muda Melayu di Langkat.

Tuan Guru Dr. Zikmal Fuad menjadi salah satu tokoh yang angkat bicara. Ia menilai pemberitaan tersebut jauh dari fakta sejarah yang sebenarnya.

“Semua cerita yang saya amati beberapa hari belakangan ini sangat tidak benar dengan faktanya,” tegas Tuan Guru Zikmal, Kamis (14/8).

Menurutnya, masa pemerintahan Sultan Musa Muazzamsyah Al-Holidinaksandiah merupakan periode emas bagi Langkat. Perkembangan pendidikan, kehidupan beragama, serta pemanfaatan kekayaan alam berlangsung pesat. “Bahkan ulama dari luar daerah datang berbondong-bondong ke Langkat karena hubungan antara sultan, ulama, dan rakyat sangat mesra. Rakyat pada masa itu hidup sejahtera,” tambahnya.

Senada, Ketua Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Langkat, Agung Kurniawan, menegaskan bahwa Kesultanan Langkat bukanlah kerajaan feodal seperti yang diberitakan. Ia mencontohkan, masyarakat sekitar Masjid Azizi yang terdiri dari tokoh agama, muazin, guru ngaji, hingga penggali kubur, diberikan tanah dan rumah oleh Sultan.

“Setiap hari Jumat, Sultan juga memberikan uang, minyak, dan bahan pokok kepada rakyat untuk dibelanjakan di pasar pekan Jumat. Itu bukti kepedulian Sultan kepada masyarakatnya,” ujar Agung.

Agung juga membantah narasi yang menyebut Sultan Langkat tunduk kepada Ratu Belanda. Menurutnya, foto yang beredar justru merupakan momen ketika Sultan menjadi tamu kehormatan pada ulang tahun Ratu Wilhelmina yang dihadiri raja dan sultan dari berbagai negara. “Langkat diberi kehormatan untuk menyerahkan bunga kepada Ratu Wilhelmina. Itu bukan bentuk pengabdian, melainkan penghormatan diplomatik,” jelasnya.

Tokoh muda Melayu Langkat, Ok. Tata Putra, yang juga cucu tertua Datuk Padang Tualang dari Kedatukan Empat Suku Langkat, menambahkan fakta lain yang membantah tuduhan feodalisme. Ia menyebut Sultan pernah menolak dominasi Belanda dalam pembangunan rumah sakit di Tanjung Pura.

“Sultan menegaskan, ‘Kalian boleh membangun rumah sakit untuk karyawan kalian, tapi rakyat saya harus boleh berobat gratis.’ Itu bukti keberpihakan Sultan pada rakyatnya,” ungkap Tata.

Tak hanya itu, dalam perjanjian dengan perusahaan Belanda yang hendak beroperasi di Langkat, Sultan juga menolak rakyatnya dijadikan buruh. “Sultan meminta agar pekerja didatangkan dari luar, demi melindungi rakyatnya,” tambahnya.

Lebih jauh, Tata menekankan bahwa sejak masa Sultan Musa hingga penerusnya, hubungan Kesultanan Langkat dengan Belanda adalah kerja sama, bukan penundukan. Bahkan, Sultan Langkat tercatat sebagai salah satu pendukung kuat berdirinya Republik Indonesia.

“Pada masa awal kemerdekaan, Sultan menyumbangkan hartanya demi berdirinya NKRI. Itu bukti yang tak terbantahkan tentang komitmen beliau kepada tanah air,” tegas Tata.

Ia juga mengimbau agar pihak-pihak yang menulis sejarah Langkat sebaiknya lebih dulu berdialog dengan tokoh Melayu atau perkumpulan adat. “Karena kalau tidak, justru akan membuat kekisruhan di Langkat ini,” ujarnya.

Para tokoh berharap polemik ini menjadi pelajaran berharga agar penulisan sejarah dilakukan dengan riset yang benar, menggunakan narasumber yang kredibel. Sejarah, kata mereka, adalah warisan yang harus dijaga kehormatannya, bukan dijadikan bahan narasi yang menyesatkan.(TP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *