Langkat,17/10/2025 – Di negeri yang tenang bergelar Negeri Wakanda, aroma ketidakadilan kadang muncul tanpa diundang seperti asap yang keluar dari tungku lama, diam-diam tapi mencekik.
Di sebuah gedung kantor berwarna pudar, ada seorang pejabat yang tengah ramai dibicarakan. Namanya tak perlu disebut cukup huruf “R” untuk mewakili seluruh kisahnya.
R adalah Kabid di salah satu dinas penting. Penampilannya rapi, bicaranya lembut, dan setiap langkahnya diiringi senyum khas pejabat yang sudah terbiasa disanjung.
Konon, ia tengah bersiap naik ke kursi yang lebih tinggi: Kepala Dinas.
Namun, di balik wangi parfum mahalnya, ada bisik-bisik tak sedap yang berhembus di koridor dinas.
Bisik itu datang dari para kontraktor, dari kepala desa, bahkan dari staf kecil yang berani berdoa tapi takut bersuara.
“Katanya untuk partisipasi, tapi nilainya gak wajar,” bisik seorang rekanan sambil melirik kanan-kiri.“Kalau gak ikut nyumbang, urusan bisa susah,” tambah yang lain, setengah berbisik, setengah mengeluh.
Kata “partisipasi” yang dulu bermakna indah kini jadi seperti mantra yang menakutkan.
Satu kata yang bisa membuka atau menutup pintu proyek, satu istilah yang terdengar sopan namun terasa tajam.
R dan Bayangan Kekuasaan
R dikenal luwes, pandai mengambil hati atasan, dan punya jaringan kuat. Ia tahu kapan harus tersenyum, kapan harus menunduk, dan kapan harus menekan.Di setiap rapat, suaranya keras, penuh wibawa. Tapi di luar ruangan, kabarnya ia punya daftar nama orang-orang yang “berutang partisipasi.”
Bagi sebagian orang, R hanyalah pejabat rajin. Tapi bagi sebagian lainnya, ia adalah bayangan kekuasaan yang menagih tanpa surat resmi.
“Kalau semua harus ada partisipasi, nanti yang miskin partisipasi apa?” celetuk seorang kades dengan getir.
Mereka menulis surat, melapor diam-diam, tapi tahu laporan itu akan tenggelam di tumpukan berkas yang dijaga rapat oleh tangan-tangan yang sama.
Kisah Sunyi di Balik Tanda Tangan
Di Langkat negeri yang di gelar sebagai wakanda, tanda tangan seorang pejabat bisa jadi jembatan antara harapan dan keputusasaan.
Beberapa kontraktor mengaku sudah menunggu berminggu-minggu agar berkasnya disetujui.
Namun setiap kali mereka datang, selalu ada alasan baru “Belum sempat diverifikasi”, “Masih dalam proses”, atau “Mungkin bisa dibantu… kalau ada partisipasi.”
Mereka pulang dengan wajah letih, sebagian memilih diam, sebagian lagi berbisik di warung kopi sambil menatap foto sang pejabat di baliho besar bertuliskan “Melayani Dengan Hati.”
Ketika Nurani Ditukar Jabatan
Kini kabar tentang R semakin kencang.
Ia disebut-sebut bakal dilantik sebagai kepala dinas kabar yang membuat sebagian orang menghela napas panjang.
“Kalau yang seperti itu saja bisa naik, bagaimana nasib orang jujur?” tanya seorang pegawai muda yang baru belajar menulis surat dinas.
Di luar gedung, masyarakat mulai resah. Mereka tak tahu mana yang benar, mana yang sekadar gosip, tapi yang jelas bau busuk itu sudah tercium sampai jauh.
Harapan di Ujung Lorong
Namun, seperti setiap kisah yang belum selesai, selalu ada ruang untuk perubahan.
Masih ada pejabat yang bekerja dengan hati. Masih ada pemimpin yang berani menegakkan keadilan.
Mereka yang diam kini mulai berani berbicara, dan mereka yang dulu takut mulai belajar melawan dengan cara yang benar lewat laporan, lewat media, lewat suara yang tidak bisa dibungkam selamanya.
Karena di negeri Wakanda Langkat, kebenaran mungkin datang terlambat,tapi tidak akan pernah mati.
Catatan Akhir:
Kisah ini bukan sekadar gosip koridor atau kabar warung kopi.Ini adalah potret kecil dari penyakit lama bernama penyalahgunaan wewenang yang tumbuh subur ketika kejujuran ditukar dengan uang, dan jabatan dijadikan komoditas.
Langkat tak butuh pejabat yang pandai berjanji,tapi pejabat yang berani jujur meski tanpa “partisipasi”.(TP)










