Home / Opini / Kopi Kelayau: Dari Aroma Harum ke Amanah Raja

Kopi Kelayau: Dari Aroma Harum ke Amanah Raja

Langkat – Di Negeri Kelayau, di sebuah rumah kecil di pinggir kota, hiduplah seorang pemuda sederhana. Harta yang paling berharga hanyalah sekarung biji kopi warisan ayahnya. Biji kopi itu bukan sembarang biji. Hitam berkilau, harum menenangkan, dan konon menyimpan doa seorang ayah yg merupakan tokoh dan memiliki pengaruh di masyarakat, pernah berpesan.

“Jika kau jaga kopi ini, ia akan menjagamu seumur hidup.”ucap ayahnya.

Dengan keyakinan itu, sang pemuda membuka lapak kecil di tepi jalan. Hanya meja kayu tua dan panci peninggalan ibunya yang setia menemaninya. Hari-hari awal sungguh berat. Orang-orang lewat begitu saja, melirik tanpa singgah. Namun ia tak menyerah. Diseduhnya kopi itu dengan sepenuh hati. Uap hangat perlahan naik, aroma khasnya menembus pagi, seolah memanggil siapa saja yang melintas.

Suatu hari, seorang kakek bersama rombongannya berhenti. Sang kakek menyeruput secangkir kopi hangat, lalu tersenyum.

“Nak, kopi ini bukan sekadar minuman. Ia punya jiwa.”ucap sikakek.

Sejak saat itu, lapak kecilnya tak pernah sepi. Kopi itu menjadi perekat cerita. Petani bercerita tentang sawahnya, nelayan tentang lautnya, anak-anak muda tentang mimpi mereka. Bagi sang pemuda, setiap cangkir adalah doa. Ia tak hanya menyajikan rasa, tapi juga menghadirkan harapan, konon menurut cerita sentuhan tangan dinginnya dalam meracik Kopi sudah melahirkan ide, gagasan dan semangat orang-orang yang meminumnya. Beberapa sudah menjadi pimpinan organisasi politik, profesi bahkan pengusaha muda.

Waktu berlalu, kabar cerita tentang pemuda sederhana ini sampai ke telinga raja. Raja yang dikenal religius dan berhati lembut itu mengagumi ketulusan sang penjual kopi. Tanpa banyak syarat, raja memberinya mandat: memimpin sebuah badan usaha milik negeri.

Bagi banyak orang, itu kabar mengejutkan. Bagaimana mungkin seorang penjual kopi dipercaya mengurus perusahaan sebesar itu? Cibiran datang bertubi-tubi.

“Kedai kopinya saja kadang sepi, bagaimana mungkin ia bisa mengurus harta negeri?” celetuk sebagian orang dengan nada meremehkan.

Seorang pemimpin yang lahir dari kesederhanaan tahu betul arti perjuangan. Seorang yang pernah menjaga sekarung kopi tahu bagaimana menjaga kepercayaan.

Di sudut Negeri Kelayau, lapak kopi kecil itu tetap berdiri. Meski ia akan sibuk memimpin, ia pasti akan kembali. Menyeduh kopi untuk rakyatnya, menatap mata mereka satu per satu, dan berkata pelan.

“Kopi ini bukan sekadar minuman. Ini doa, ini cerita, dan ini harapan kita bersama.”(TP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *