Home / Berita / Daerah / DMDI Langkat Tegas Bantah Narasi Sejarah yang Dinilai Menyesatkan Publik

DMDI Langkat Tegas Bantah Narasi Sejarah yang Dinilai Menyesatkan Publik

LANGKAT – Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Kabupaten Langkat menanggapi tegas sebuah tulisan yang berjudul “Kesultanan Langkat: Bayang-bayang Kolonial dan Pertanyaan tentang Legitimasi Sejarah” yang sempat dimuat di salah satu media. Tulisan tersebut, menurut Sekretaris Jenderal DMDI Langkat, Tengku Hansdrei Fauzi, berpotensi menyesatkan publik karena memuat interpretasi sejarah yang keliru dan tidak utuh.

Hansdrei menilai, artikel itu muncul di saat masyarakat tengah solid mendukung implementasi Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup), dan Instruksi Bupati (Inbup) tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah Kabupaten Langkat. “Kami perlu meluruskan agar masyarakat tidak termakan opini yang tidak berdasar,” ujarnya, Selasa (12/8/2025).

Klarifikasi Poin Sejarah

Menurut T.Hansdrei, penulis artikel tersebut, Tuan Al Faqih, mempertanyakan legitimasi Kesultanan Langkat dan mengaitkannya dengan campur tangan kolonial Belanda. Ia menyebut bahwa Kesultanan Langkat terbentuk karena pengaruh politik kolonial, bekerja sama dalam penyediaan tenaga kerja perkebunan, dan tidak pernah melawan penjajahan secara militer.

Menanggapi hal itu, T.Hansdrei menjelaskan bahwa sejak ekspedisi Belanda ke Sumatera Timur pada 1862, kerajaan-kerajaan termasuk Langkat memilih jalur diplomasi dibanding perlawanan bersenjata. “Para sultan saat itu berpikir rasional. Perang melawan Belanda hanya akan berakhir dengan kekalahan dan instabilitas,” jelasnya.

Ia menambahkan, keputusan politik Sultan Musa untuk meminta bantuan Belanda pada 1884 bertujuan menyatukan Langkat di tengah ancaman internal dan eksternal. “Itu strategi politik, bukan tanda tunduk. Kerja sama dengan Belanda pada masa itu adalah perjanjian antar entitas berdaulat,” katanya.

Kerja sama tersebut, lanjutnya, membawa kemakmuran besar bagi Langkat. Fasilitas publik seperti jalan, sekolah, rumah sakit, masjid, hingga program bantuan langsung bagi rakyat dibangun. Masyarakat bahkan dapat memiliki tanah pribadi dan memanfaatkan “tanah jaluran” usai panen tembakau.

Narasi ‘Tidak Terjajah’ di Langkat

T.Hansdrei juga membantah anggapan bahwa Langkat tidak layak dijadikan pijakan identitas Melayu karena tidak melakukan perlawanan militer. “Faktanya, rakyat hidup aman. Orang Belanda, Tionghoa, Arab, India, Tamil, semua berdampingan damai dengan pribumi. Belanda di sini lebih sebagai investor, bukan penjajah yang menindas,” ujarnya.

Ia mengungkap, Sultan Langkat pun tercatat mendukung penuh kemerdekaan RI. Pada 3 Februari 1946, Sultan Mahmud Abduljalil Rakhmat Shah menyatakan dukungan teguh kepada Presiden dan pemerintah RI serta menyumbang 100 ribu golden untuk negara yang baru berdiri.

Melayu Sebagai Pemersatu, Bukan Pemecah

T.Hansdrei mengingatkan bahwa narasi sejarah yang salah bisa memicu perpecahan. “Jangan ulangi pola yang pernah dilakukan PKI pada Revolusi Sosial 1946. Jangan memprovokasi, apalagi memecah belah harmoni antar etnis yang sudah terjalin di Langkat,” tegasnya.

Ia menutup dengan pesan agar penulis-penulis sejarah lebih berhati-hati. “Jangan hanya jadi faqih (pintar), jadilah juga hakim (bijak). Sejarah Langkat harus dilihat utuh, bukan sepotong-sepotong,” pungkasnya.(TP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *