Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian membuka peluang dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), menyusul maraknya aksi premanisme yang mengatasnamakan ormas di berbagai daerah.
Tito menjelaskan, UU Ormas yang lahir pada era pascareformasi 1998 memang lebih menitikberatkan pada kebebasan sipil. Namun dalam perkembangannya, sejumlah organisasi justru menyalahgunakan status ormas untuk kepentingan kekuasaan dengan tindakan koersif.
“Kita melihat banyak ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih ketat, termasuk di antaranya soal keuangan dan audit keuangan,” ujar Tito, dikutip dari Antara, Sabtu (26/4/2025).
Menurutnya, aspek transparansi keuangan menjadi salah satu fokus penting untuk dievaluasi. Ketidakjelasan alur penggunaan dana dinilai membuka peluang penyalahgunaan di tingkat akar rumput.
Tito menegaskan, keberadaan ormas seharusnya memperkuat sistem demokrasi dengan menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun, ia mengingatkan, kebebasan itu tidak bisa dijadikan alat untuk melakukan pemerasan, intimidasi, atau kekerasan.
“Kalau tindakan pidana dilakukan secara sistematis dan ada instruksi dari ormas, maka korporasi (organisasi) tersebut juga dapat dikenai sanksi pidana,” tegasnya.
Lebih jauh, Tito menyebutkan bahwa perubahan UU Ormas perlu diarahkan untuk memperketat pengawasan dan membuat akuntabilitas organisasi lebih terjamin.
Setiap undang-undang bersifat dinamis. Sangat mungkin dilakukan revisi sesuai dengan perkembangan situasi,” jelasnya.
Meski demikian, Tito mengingatkan bahwa rencana revisi UU harus melalui mekanisme legislasi resmi di DPR RI.
Kalau ada usulan dari pemerintah, nantinya akan diajukan ke DPR untuk dibahas dan diputuskan,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum atas setiap pelanggaran, baik yang dilakukan individu maupun lembaga. Tito mencontohkan kasus pembakaran mobil polisi oleh oknum anggota ormas sebagai tindakan kriminal yang wajib diproses hukum.
Kalau itu pidana, ya harus diproses. Hukum harus ditegakkan untuk menjaga stabilitas keamanan,” pungkasnya.
Fenomena premanisme bermodus ormas menjadi sorotan setelah dua peristiwa mencuat ke publik: gangguan terhadap pembangunan pabrik mobil listrik BYD di Subang, Jawa Barat, dan pembakaran mobil polisi oleh anggota ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya.
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, sebelumnya menyampaikan kekhawatirannya atas aksi-aksi tersebut. Ia mengingatkan bahwa ketidakamanan semacam itu dapat menghambat iklim investasi di Indonesia.
Investor harus merasa aman. Tanpa jaminan keamanan, mereka bisa ragu untuk berinvestasi di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, mengungkapkan bahwa masalah premanisme di kawasan industri sudah terjadi sejak era reformasi.
Sejak tahun 1998, kejadian seperti ini sudah ada. Tapi kami terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengatasinya,” katanya.
Kukuh juga menambahkan bahwa agen-agen pemegang merek (APM) di kawasan industri sudah diimbau untuk melibatkan masyarakat lokal sebagai bagian dari upaya meminimalisasi potensi gangguan.
Pasti, otomatis mereka melibatkan warga sekitar. Misalnya pabrik di Cikarang tentu akan mengambil tenaga kerja dari sekitar, bukan dari daerah jauh,” tutup Kukuh.(TP)